Gambar.1 Penulis berada disalahsatu perpustakaan di Kairo
SRAGEN, TRENSAINS. Suatu ketika Ali bin Abi
Thalib seorang cerdik pandai kalangan sahabat berkata "Ikatlah ilmu dengan menulis".
Beberapa abad kemudian Imam Syafii menguatkannya dengan berfatwa “Ilmu itu ibarat binatang buruan yang sudah tertangkap,
untuk mengikatnya harus ditulis”. Kalimat yang sangat mendalam betapa menulis itu
sangat penting dalam aktifitas pemikiran dan keilmuan.
Karya
Tulis itu Standar Guru atau
Ulama
Menulis
berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses
oleh siapa saja. Dengan tulisan juga sebuah ide atau pemikiran dapat diabadikan walaupun
pemiliknya sudah tidak hidup lagi. Dalam tradisi keilmuan islam, Seorang ulama
muncul bukan karena media massa yang menjadikannya populer, melainkan karena
keilmuannya yang dituangkan pada karya-karyanya. Ulama zaman dahulu begitu
produktif menghasilkan karya tulis karena besic keilmuannya yang sudah mapan. Ada
yang menulisnya sendiri atau dituliskan murid-muridnya. Statemen mereka senantiasa
dipenuhi dengan perkataan yang sarat ilmu (jawamiul kalim), sehingga penjabaran
yang lebih lengkap (syarh) dibahas dan ditulis oleh murid atau ulama-ulama
setelahnya.
Sosok ulama seperti Imam Syafi’i, Ibn Taimiyah,
Ibn Qoyyim Al Jauziyyah, Imam Nawawi, Ibn Hajar Al Atsqolani terkenal dengan
karya-karya mereka. Karya-karya mereka jika dihimpun bisa sampai ratusan jilid.
Ada ahli filologi mengatakan bahwa karya-karya ulama klasik yang sudah dicetak
sehingga bisa dibaca oleh kita jumlahnya lebih sedikit dibanding jumlah
sesungguhnya, sisanya masih berbentuk manuskrip atau hilang tak terawat. Hal
ini terkonfirmasi dengan kisah Ibn ‘Athoillah Assakandari yang membutuhkan
waktu singkat yaitu sekali duduk antara Dzuhur dan Ashar untuk menulis “Al
Hikam”. Ini menujukkan betapa
produktifnya kegiatan menulis mereka.
Di zaman modern kita kenal Dr. Wahbah Zuhili, Yusuf
Qardhawi Syaikh, Syaikh Mutawalli Sya’rowi, Sayyid Qutb, yang merupakan
ulama-ulama Al-Azhar yang selain terkenal dengan ceramah-ceramahnya juga terkenal
dengan kitab-kitabnya. Di Indonesi kita kenal Buya Hamka dan Tengku Hasbi
Assidqi yang merupakan ulama paling produktif dizamannya, bahkan nama terkhir mampu menulis tafsir
al-Quran lengkap 30 Juz.
Deretan nama di atas merupaka contoh kecil
bagaimana ulama itu seharusnya dihargai. Berbeda dengan zaman sekarang yang
lebi dihargai dari aspek retorika dan gayanya. Ulama-ulama zaman dahulu lebih
mementingkan aspek tersebar luasnya ilmu untuk dapat dipergunakan umat. Sedangkan,
di zaman sekarang, kebanyakan orang begitu mementingkan apresiasi karyanya
dalam bentuk royalti dan melupakan keikhlasannya sehingga tak rela dibajak.
Dari aspek keikhlasan ini kita wajib belajar dari pendahulu kita.
Menulis itu Ibadah
Menulis
sejatinya merupakan suatu kewajiban setelah membaca (iqra). Dari
perspektif ini menulis itu berarti ibadah. Pijakan inilah yang harus dipahami
oleh setiap penulis sebelum menggoreskan karya-karyanya. Hal inilah yang menjadikan
seorang penulis memiliki tanggung jawab dan selalu menjujung tinggi etika
tulis-menulis (jurnalistik). Disamping itu, menulis merupakan pekerjaan yang mulia
karena ia mengambil peran kenabian dalam hal mensosialisasikan kebenaran yang
belum diketahui publik. Disini juga kita dapat memasukan empat sifat para nabi
sebagai syarat atau kode etik seorang jurnalis: Shidiq (jujur), amanah (dapat
dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (komunikatif)
Dahsyatnya
Kekuatan Menulis
Disini
saya ingin memberi dua contoh bahwa tulisan itu memiliki kekuatan yang sangat
dahsyat dalam mendorong sebuah perubahan sosial seperti halnya membentuk peradaban.
Dampaknya bisa baik bisa buruk tergantung pesan atau pemikiran yang
dikemukakan.
Hasan
Al-Banna pendiri organsisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah menulis berbagai
wasiatnya kepada umat Islam. Tulisan-tulisan itu dibukukan dengan judul “Majmu’
Rosail” (kompilasi wasiat) dan disebarkan kesuluruh negeri-negeri Muslim.
Hasilnya, tulisan itu sanggup membius jutaan pemuda-pemudi diberbagai belahan
dunia untuk bangkit menggelorakan Pergerakan Islam. Saat ini, hampir semua
pergerakan Islam di dunia lahir terinspirasi dari surat wasiat Hasan Al-Banna
tersebut.
Contoh lainnya adalah Samuel Huntington yang menulis “Class of Civilization” (benturan peradaban). Buku ini berimajinasi akan adanya benturan perdaban yang dimaksud adalah peradaban barat Kristen dan perdaban timur Islam . Buku ini pada akhirnya menjadi rujukan dunia barat dalam menilai dan menyikapi kebangkitan dunia Islam. Huntington berimajinasi bahwa setelah Amerika memenangkan Perang Dunia II, maka musuh berbahaya berikutnya adalah Islam. Kini imajinasi itu benar-benaramenjadi aksi nyata. Barat- Amerika begitu bernafsu menguasai semua lini kehidupan negara-negara Islam.
Sampai
disini, kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan tulisan. Ia bisa
menjadi senjata kimia yang mewabah melawan kezaliman ketika bom atom atau
nuklir telah dilarang untuk diproduksi. Nah, jika menyadari dahsyatnya kekuatan
sebuah tulisan, masihkan kita malas
untuk menulis? Fastabiqul
Khairât! (Abu Yasmin)
Gambar.2 suasana salahsatu stand di International Book Fair, Cairo
Gambar.3 buku-buku itu sebagian besarnya adalah karya-karya ulama klasik
Gambar. 4 Nasihat Hamka,dengan menulis membuat hidup ini tidak sekedar hidup
0 thoughts on “Budaya Menulis Dalam Islam”