Kitab suci Al-Quran berisi banyak bertutur kisah-kisah. Bahkan beberapa surat al-Quran khusus dinamai dengan tokoh utama kisah tersebut, semisal: surat Yusuf, Al-Qoshos, Hud, An-Naml, An-Nahl, Al Fiil, Ibrahim, Yunus, Muhammad, Ali Imran, Maryam, dan masih banyak lagi. Bila kita mencoba mengkaji satu persatu kisah-kisah tersebut, ternyata lebih banyak menceritakan perjalanan Nabi Musa as. Kisah perjalanan Nabi Musa bertebaran dan diulang-ulang di banyak surat. Imam Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhân fî Ulûm al-Quran menukil perkataan sebagian ulama yang menyatakan bahwa kisah Nabi Musa dalam terdapat dalam seratus dua puluh tempat.
Apa rahasia dibalik semua itu?
Mengapa cerita Nabi Musa lebih banyak dibanding cerita nabi-nabi yang lain?
Pengarang kitab Al-Fann
Al-Qoshoshi, Dr. Kholifullah berargumen bahwa Yahudi dulu menguasai
lingkungan Arab dari segi pemikiran agama, dengan kekuasaan inilah mereka
banyak menceritakan sejarah Nabi Musa dan Firaun. Dan dari sini juga akhirnya
kepribadian Nabi Musa lebih banyak disebutkan dalam Al-Quran dibanding dengan
kepribadian Nabi Ayub atau nabi-nabi lainnya.
Namun pendapat ini ditolak oleh
Dr. Muhammad al-Bahi. Dalam bukunya Sikologia al-Qishoh beliau menyatakan bahwa kehidupan
agama bangsa Arab sebelum Islam berbeda-beda dan berkelompok-kelompok. Sebagian
orang Yaman menyembah matahari, orang Mesir kuno menyembah bulan, sebagian
mereka atheis, sebagiannya Yahudi dan sisanya masih dalam ajaran yang lurus
mengikuti nenek moyangnya terdahulu.
Dr. Abdurrahman Uwais, Dosen Tafsir
Universitas Al-Azhar Kairo, akhirnya memberikan argumennya yang menyatakan
bahwa pengulangan kisah Nabi Musa yang lebih banyak dari yang lainnya dalam karena
banyak kesamaan antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad dalam kondisi dakwah mereka.
Kaum Musa menjadi hina dan rendah karena selalu menjadi budak Firaun hingga
rusaklah karakter mereka yang akhirnya berujung dengan penolakan kebenaran yang
datang pada mereka. Hal yang terjadi pada Nabi Musa ini juga terjadi dan mirip
dengan apa yang dilakukan oleh para pembesar Quraisy terhadap Nabi Muhammad.
Kedua nabi ini memang mendapat misi untuk membentuk umat yang besar serta dianugerahi
syariat agama, namun dakwah Nabi Muhammad berbeda karena ia memiliki keistemewaan
dengan keuniversalan dan keabadiannya hingga hari kiamat.
Sisi kesamaan lainnya adalah
mereka sama-sama berusaha keras untuk meruntuhkan rezim kediktatoran,
kemusyrikan dan kezoliman. Bani Isroil tunduk dibawah hukum penguasa yang zolim
hingga mereka tidak memiliki kekuasaan apapun dalam diri mereka, sedangkan
bangsa Arab berada di bawah kekuasaan suku-suku dan fanatisme golongan hingga
kaum lemah selalu tunduk dan patuh pada kaum yang lebih kuat.
Kita juga melihat bahwa Nabi Musa
dan Nabi Muhammad selalu dibayang-bayangi konspirasi para penguasa. Banyak
modus untuk melenyapkan dan menyingkirkan mereka, mulai dari penyiksaan,
penghinaan hingga pembunuhan. Ternyata kemiripan ini tak hanya terbatas pada
kedua nabi besar ini namun juga terjadi para pengikut mereka dimana mereka
selalu rela dan bersabar walau ditimpa berbagai cobaan dan siksaan. Justru
demikian malah membuat iman mereka semakin tebal dan kokoh. Hal ini sangat
terlihat jelas pada momen para penyihir yang sudah bertaubat dan sadar akan
kebenaran Nabi Musa hingga mereka rela menerima ancaman dan siksaan yang
diajukan Firaun. Senada dengan itu para sahabat Nabi Muhammad selalu setia
berjuang, berkorban hingga tetes darah penghabisan.
Allah selalu meletakkan hikmah
dibalik seluruh perbuatan-Nya dan tak akan pernah membuat suatu yang sia-sia.
Momen
Kelahiran
Masa-masa menjelang kelahiran sang
nabi menaruh pelajaran yang sangat berharga bagi kita dimana kekuasaan dan
usaha yang dilakukan manusia tidaklah berarti apa-apa jika sang Kholik berkehendak
lain. Kita dapat melihat dimana keangkuhan Firaun dan tentaranya membabat habis
bayi lelaki yang lahir dari Bani Israil, hal ini karena sang “diktator”
berspekulasi bahwa kelak datang seorang keturunan dari bani Israil akan
menghancurkan kekuasaannya. Namun, selamatnya Nabi Musa bahkan hidup di istana
Firaun membuktikan kelemahan manusia di hadapan Allah.
Ketika penemuan bayi Musa di
sungai Nil, istri Firaun (Asiyah) berinisiatif untuk mengadopsinya dengan
harapan agar ia dapat menjadi peneduh hati dan penyejuk pandangan kedua
pasangan yang tidak dikaruniai keturunan ini. Namun apalah daya, ternyata ia
berbalik menjadi “bumerang” kepada Firaun. Maka benarlah sebuah ungkapan Arab
bahwa balasan itu sesuai apa yang ia lakukan (al-jazâ min jinsi al-‘amal).
Masa muda
Nabi Musa
Musa muda pernah mendapati dua
orang sedang bertengkar, Musa memelilih untuk memukul orang asing demi menolong
pemuda yang berasal dari kaumnya hingga membuatnya hijrah ke Madyan. Dari sini
kita dapat mengambil pelajaran bahwa terkadang apa yang Allah kehendaki itu pasti
lebih baik walau secara kasat terlihat kurang baik. Salah satu hikmah dari
hijrahnya Nabi Musa berupa sebuah pendidikan dan persiapan kepada para juru
dakwah agar dapat hidup di dunia yang masih murni dan suci jauh dari suasana
istana dan kemegahan serta banyaknya konspirasi dan fitnah di dalamnya ditambah
agar mereka tetap bergantung pada Allah di manapun mereka tinggal.
Dalam sesi ini ada beberapa
kesamaan antara kisah Nabi Musa dan Nabi Yusuf. Diantarnya adalah mereka
diasingkan dari asuhan dan kasih sayang orang tua namun apa yang terjadi pada
Nabi Musa lebih menggambarkan peran sang ibu sedangkan kisah Nabi Yusuf lebih
menekankan pada peran ayah. Keduanya juga tumbuh saat kufur, kezoliman dan
kerusakan merajalela dimana-mana hingga akhirnya Allah menjaga mereka dengan
cara mengasingkannya agar tak bercampur dan berbaur dengan kondisi ini.
Kedua nabi ini juga menggambarkan
peran para wanita. Bedanya wanita yang ada pada kisah Nabi Yusuf berbanding
terbalik dengan yang ada pada kisah Nabi Musa. Wanita pada cerita Nabi Yusuf
(istri penguasa Mesir yang mencoba menggoda Nabi Yusuf) lebih cenderung sebagai
penguji dan cobaan (mihnah) adapaun wanita yang terdapat dalam kisah Nabi Musa
(baik ibu, suadara perempuannya, istri Firaun hingga istri Nabi Musa) lebih
cenderung membawa angin positif, anugrah dan rahmat dari Allah (mihnah).
Ketika di Madyan Nabi Musa bertemu
dengan dua orang wanita yang sedang mengantri untuk mengambil air. Setelah
dibantu Nabi Musa salah seorang wanita tadi kembali dan memanggil Nabi Musa dan
mengabarkan bahwa bapak mereka ingin bertemu dengannya dimana nantinya salah
satu di antara mereka diangakat menjadi istri Nabi Musa. Kita banyak mendapat
pelajaran dari kisah kedua wanita ini diantaranya wanita sebaiknya tidak keluar
seorang diri walau hal itu sebenarnya dapat dilakukan, keluarnya kedua wanita tadi
bukan sekedar untuk bersenang-senang atau berleha-leha namun untuk memenuhi
kebutuhan penting keluarga. Ketika keluar wanita hedaknya selalu beradab dan
sopan tidak berlenggak-lenggok dan mata yang menggoda. Keluarnya wanita harus
disesuaikan dengan kebutuhan saja dan ketika ia sudah selesai melaksanakan
keperluannya sepatutnya ia segera kembali.
Pengangkatan
menjadi Nabi
Setelah berhijrah ke Madyan dan
berhasil menikahi salah satu putri Nabi Syu’aib beliau pergi menuju ke Mesir.
Di tengah-tengah perjalanan tepatya di bukit Turisna beliau diangkat menjadi
nabi dengan diberikan beberapa mukjizat seperti tongkat “ajaib” dan tangan yang
dapat bersinar. Dari sana juga beliau diberi julukan kalimullah
(orang yang dapat berdialog dengan Allah).
Namun ketika beliau diperintahkan
untuk menyampaikan misi dakwah ternyata menyelinap sedikit rasa takut untuk
memikul beban dan tugas ini. Hal ini didasari oleh beberapa alasan diantaranya;
Firaun terkenal dengan kezoliman, kemungkaran dan pengakuannya sebagai tuhan.
Selain itu Nabi Musa juga merasa melakukan kesalahan ketika membunuh seorang
pemuda hingga memaksanya hijrah ke Madyan. Dan rasa bersalah inilah yang menimbulkan
rasa takut dalam diri beliau. Namun Allah menjanjikan keamanan dan mereda rasa
takut kepada utusan-Nya ini dengan firman-Nya; “Wahai Musa! Kemarilah dan jangan
takut. Sesungguuhnya engkau termasuk orang yang aman.” (QS.
Al-Qashash 28: 31). Dari sini para juru dakwah dapat mengambil pelajaran bahwa
selama ia merasa yakin dalam kebenaran maka janganlah merasa takut ketika ia
harus menghadapi lawan yang lalim walau berdiri seorang diri karena Allah
selalu bersamanya.
Tenggelamnya Firaun
dan tentaranya
Terkadang
Allah menunda azab kepada para hamba-Nya yang ingkar namun bila sudah tiba
waktunya tidak ada yang dapat mencegahnya. Dari sinilah kita diperintahkan
untuk menyegerakan taubat karena ia tidak dapat diterima ketika ruh mencapai
tenggorokan atau yang mati dalam keadaan kafir sebagaimana terdapat dalam surat
An-Nisa ayat 18: “Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang
melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka
(barulah) dia mengatakan, saya benar-benar bertobat sekarang. Dan tidak (pula
diterima) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran.
Bagi orang-orang itu kami sediakan azab yang pedih.”
Jasad Firaun sampai kini masih ada
di Museum Kairo berdekatan dengan Bundaran Tahrir. Hal ini sesuai dengan janji
Allah, “Maka
pada hari ini Kami selamatkan ragamu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang setelahmu” (Yunus 10: 92). Dari sini kita
dapat mengambil beberapa hikmah diantaranya bahwa siapa saja yang berbuat
seperti yang dilakukan Firaun akan mendapat balasan yang sama dengannya
khususnya bagi mereka yang berani mengaku menjadi tuhan. Jasadnya diabadikan
hingga lautpun tak sudi menerima jasad makhluk kotor ini.
Hikmah lainnya adalah agar para
pengikut Firaun ini tidak dapat membuat mitos-mitos dan keterangan palsu
semisal Firaun sudah diangkat ke langit dan sudah berada di tempatnya dengan
tenang. Mudah-mudah kisah ini dapat menjadi pelajaran dan manfaat bagi kita
semua. Wallahu’alam
bi al Shawwâb! (Abu Yamsin) tulisan ini
disarikan dari kitab Qisshotu ash-Shurâ’ baina ad-Dâi’yah wa ath-Thogiyah Musa wa
Fir’aun fi dhaui ayat al-Quran al-Karîm
0 thoughts on “Belajar dari Kisah Musa dalam Al-Quran”