BREAKING NEWS
Search

Islamisasi Sains Menurut Al-Attas dan Al-Faruqi

Trensains
Ismail Raji Al Faruqi
Smatrensains.com, Sragen- Ide islamisasi ilmu pengetahuan akan sulit dipisahkan dari dua tokoh intelektual muslim dunia, yaitu Syed Naquib Al-Attas[i] dan Ismail Raji Al-Faruqi.[ii] Mereka berdua telah memberi inspirasi kepada banyak cendekiawan muslim di berbagai penjuru dunia.[iii] Keberadaan lembaga International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat tidak lepas dari kontribusi mereka. ISTAC didirikan oleh Al-Attas, dan IIIT didirikan oleh Al-Faruqi. Lantas, bagaimana pandangan mereka terhadap gagasan Islamisasi Sains? 
Trensains
Syed M. Naquib Al Attas

A. Titik Kesamaan
Baik Al-Attas maupun Al-Faruqi mempunyai pandangan  yang sama ketika membicarakan ilmu. Ketika ditinjau dari sudut epistemologi (sumber ilmu) misalnya, bagi mereka ilmu tidaklah bebas dari nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden). Mereka juga yakin bahwa Allah adalah sumber asal segala ilmu; dan bahwasanya ilmu adalah asas bagi keimanan dan amal sholeh.
           
Mereka juga sependapat bahwa ilmu Barat (modern); terutama ilmu kemanusiaan, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan lainnya bersandar pada falsafah dan pandangan alam sekuler, di mana Allah telah dipinggirkan.

Kedua pemikir ini juga memiliki pandangan yang sama bahwasanya metodologi ilmu modern yang berasal dari Barat ini banyak dipengaruhi oleh metodologi sains alamiah. Metodologi ini disebut-sebut lebih menekankan objektivitas, akan tetapi melampaui batas karena menolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. 

Kalau dilihat dari sudut epistemologi, falsafah Barat ini hanya menerima akal dan panca indra sebagai sumber ilmu. Akal oleh barat diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.   Adapun wahyu maupun ilham tidak diterima sebagai sumber ilmu. Apalagi, ketika teori evolusi Darwin bergulir dan diterima, maka ilmu pengetahuan telah mengenyampingkan al-Khaliq (sang Pencipta) dan meyakini bahwa proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa Pencipta. Oleh karena itulah, bagi Al-Attas dan Al-Faruqi ilmu modern ini bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaimana peranan ilmu dalam pandangan islam, tetapi sebaliknya malah membuat rusak serta menjadikan tersesat aqidah Islam; serta di sisi lain justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan.

B. Letak Perbedaan 
Akan tetapi, ada sedikit perbedaan dalam pendekatan yang digunakan oleh Al-Attas dan Al-Faruqi. Beberapa perbedaan itu namapak pada hal-hal berikut ini:

1.      Dalam proses islamisasi ilmu
Menurut Al-Attas, proses islamisasi melibatkan dua langkah utama. Pertama ialah proses mengisolir (membuang) unsur dan konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari ilmu pengetahuan. Langkah kedua ialah memasukkan unsur dan konsep kunci Islam ke dalam setiap ilmu modern yang dianggap relevan. Dalam hal ini Al-Attas mengambil pendekatan Imam Ghazali dalam aspek jiwa, dimana ia menyarankan supaya sifat yang keji dibuang dahulu sebelum jiwa dihiasi dengan sifat yang terpuji. 

Jika dalam proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) Al-Ghazali menyarankan sifat keji yang “dibuang” adalah beberapa sifat seperti dengki dan sombong, maka dalam proses islamisasi ilmu, Al-Attas menyarankan agar unsur-unsur dan konsep-konsep asing yang harus “dibuang” adalah (1) doktrin bahwa akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) sikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran,  (3) doktrin humanism, (4) pandangan hidup sekuler, (5) dan konsep drama-tragedi sebagai unsur-unsur dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. 

Adapun jika Al-Ghazali menyarankan sifat-sifat terpuji yang harus “dimasukkan” setelah proses pembuangan dalam penyucian jiwa adalah beberapa sifat seperti tawaddhu’, qonaah, dan sabar, maka unsur dan konsep Islam yang harus “menggantikan” unsur dan konsep asing dalam proses islamisasi ilmu adalah (1) manusia, (2) din, (3) ‘Ilm dan ma’rifah, (4) hikmah, (5) ‘adl, (6) amal-adab, dan (7) konsep universitas (kulliyah-jam’iyah). 

Berbeda dengan Al-Attas yang menggunakan pendekatan Imam Ghazali, yaitu menggunakan kaidah pembersihan sebelum dilakukan penghiasan, Al-Faruqi menawarkan 12 langkah yang harus dilalui dalam proses Islamisasi ilmu. Ke-12 langkah tersebut adalah:
1)      Penguasaan disiplin ilmu modern (prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2)      Survei disiplin ilmu
3)      Penguasaan ilmu warisan Islam (antologi)
4)      Penguasaan ilmu warisan Islam (analisis)
5)      Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6)      Penilaian secara kritis terhadap disiplin ilmu modern guna memperjelas kedudukannya dari sudut pandang Islam, dan memberi panduan terhadap langkah yang harus diislamiasi
7)      Penilaian secara kritis ilmu warisan Islam. Termasuk dalam hali ini koreksi terhadap pemahaman Al-Quran dan Sunnah yang dianggap keliru dewasa ini
8)      Survei / kajian terhadap permasalahan yang tengah dihadapi umat islam modern
9)      Survei / kajian permasalahan yang dihadapi manusia
10)  Analisis dan sintesis kreatif
11)  Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
12)  Penyebarluasanluasan ilmu yang sudah diislamkan. 

2.      Ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ingin diislamisasi    
Perbedaan lainnya dalam pendekatan mereka ialah melibatkan ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ingin diislamisasikan. Al-Attas membatasi ilmu yang ingin diislamisasikan adalah pengetahuan kontemporer (yang telah ter-Baratkan). Akan tetapi Al-Faruqi memandang bahwa proses Islamisasi patut juga dilakukan ilmu turats islam (ilmu-ilmu keislaman yang tidak ter-Baratkan). 

3.      Melibatkan tasawwuf sebagai metode dan intuisi sebagai sumber ilmu
Adapun perbedaan diantara konsepsi Al-Faruqi dan Al-Attas yang amat jelas berkaitan dengan kepentingan tasawwuf dalam merumuskan konsep-konsep dasar dalam semua cabang ilmu. Al-Faruqi mengecilkan peranan tasawwuf dan berpendapat bahwa kerohanian yang terpancar melalui tasawwuf hanya membawa kepada kelesuan dan karena itu wajar ia dianggap sebagai hal yang tak perlu bahkan merusak. Al-Faruqi pun tidak mengakui intuisi sebagai sumber dan metode yang sah bagi saintifik karena intuisi ini didukung oleh tasawwuf. 
   
Sementara itu, Al-Attas beranggapan bahwa tasawwuf tidak hanya penting, tapi perlu bagi perumusan teori ilmu dan pendidikan. Selain itu, tasawwuf dipandang sebagai cara untuk memperoleh ilmu kerohanian, dimana ilmu kerohanian dianggap sebagai cara utama untuk menyelamatkan manusia dari cengkeraman empirisme, pragmatisme, materialisme, dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Bagi Al-Attas, justru ilmu kerohanian menjadi cara untuk mengatur pendidikan dari perspektif terpadu dan komprehensif. Atas pandangan ini, Al-Attas berbeda dengan Al-Faruqi dalam memandang intuisi. Al-Attas mendukung intuisi sebagai sumber dan metode yang sah dalam metodologi saintifik. Ia menegaskan bahwa intuisi dan penafsiran simbolik dari teks suci (nash) memainkan peranan yang penting dalam memperoleh ilmu saintifik. Hal ini menurutnya berbeda dengan metodologi sains modern yang tidak mengakui intuisi sebagai metode saintifik. 

4.      Antara transformasi sosial dan perubahan individu      
Berangkat dari perbedaan pandangan terhadap tasawwuf sebagai metode dan sumber ilmu, maka terdapat beberapa implikasi bagi konsep ilmu, pendidikan dan islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan islamisasi secara umum.

Al-Faruqi pun memberi penekanan kepada transformasi sosial dibanding idealisme sufi yang memberi perhatian kepada perubahan individu. Ia mengutamakan masyarakat dan negara dibanding individu. Ini jelas sekali dari penekanan Al-Faruqi kepada ummah. Adapun Al-Attas lebih menekankan individu dalam mencari penyelesaian kepada masalah yang kita hadapi daripada menekankan kepada masyarakat dan negara. Baginya, ummah dan negara tidak akan bisa dibangun jika individu Muslim tidak memahami tentang Islam dan pandangannya, serta tidak lagi menjadi Muslim yang baik. Al-Attas juga berpandangan bahwa penekanan kepada masyarakat dan negara membuka pintu sekularisme, ideologi, dan pendidikan sekuler. 

Demikianlah pandangan Al-Attas dan Al-Faruqi berkaitan dengan Islamisasi Ilmu. Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Al-Attas dan Al-Faruqi memiliki kesamaan pandangan bahwa akar masalah umat Islam terletak pada pada sistem pendidikan mereka, khusunya masalah ilmu kontemporer, di mana penyelesaiannya terletak dalam Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini (kontemporer). Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri ditemukan adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya sebagaimana disebutkan di atas. 

Akhirnya, semoga tulisan ini mampu membuka cakrawala berpikir kita serta menambah luas pemahaman kita tentang Islamisasi ilmu yang disebut-sebut sebagai “proyek” penting dan mendesak untuk direalisasikan. (Abu Yasmin) 




[i] Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah ilmuwan berkewarganegaraan Malaysia, lahir di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, pada 5 September 1931. Al-Attas merupakan pendiri dan pimpinan International Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) 1989-hingga 2002. Al-Attas telah menghasilkan 26 judul buku dan 27 artikel ilmiah. Berkat karya ilmiah itu dia mendapatkan dari The Imperial Iranian Academy of Philosophy (1975), dari pakistan atas kajiannya terhadap iqbal serta Pemegang Pertama Kursi Kehormatan al-Ghazali dalam Studi Pemikiran Islam.


[ii] Ismail Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Pernah belajar Islam di universitas Al Azhar Cairo, kemudian belajar dan mengajar di Eropa dan Amerika. Al-Faruqi meninggal dunia pada sebuah tragedi pembunuhan sadis yang menewaskan istri dan keluarganya pada 27 Mei 1986. Al-Faruqi merupakan tokoh muslim dunia yang dikenang namanya karena ide islamisasi Ilmu Pengetahuan.

[iii] Selain Al-Attas dan Al-Faruqi, ada dua intelektual besar lainnya yaitu: Syeed Hosein Nasr (Iran) dan Ziaudin Sardar (Pakistan)




nanomag

Terimakasih atas kunjungan anda kritik dan saran anda sangat berarti buat kami


0 thoughts on “Islamisasi Sains Menurut Al-Attas dan Al-Faruqi