Ismail Raji Al Faruqi |
A. Titik Kesamaan
Baik
Al-Attas maupun Al-Faruqi mempunyai pandangan
yang sama ketika membicarakan ilmu. Ketika ditinjau dari sudut
epistemologi (sumber ilmu) misalnya, bagi mereka ilmu tidaklah bebas dari nilai
(value-free), tetapi sarat nilai (value laden). Mereka juga yakin
bahwa Allah adalah sumber asal segala ilmu; dan bahwasanya ilmu adalah asas
bagi keimanan dan amal sholeh.
Mereka
juga sependapat bahwa ilmu Barat (modern); terutama ilmu kemanusiaan,
kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan lainnya bersandar pada falsafah dan
pandangan alam sekuler, di mana Allah telah dipinggirkan.
Kedua
pemikir ini juga memiliki pandangan yang sama bahwasanya metodologi ilmu modern
yang berasal dari Barat ini banyak dipengaruhi oleh metodologi sains alamiah.
Metodologi ini disebut-sebut lebih menekankan objektivitas, akan tetapi
melampaui batas karena menolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris.
Kalau
dilihat dari sudut epistemologi, falsafah Barat ini hanya menerima akal dan
panca indra sebagai sumber ilmu. Akal oleh barat diandalkan untuk membimbing
kehidupan manusia. Adapun wahyu maupun
ilham tidak diterima sebagai sumber ilmu. Apalagi, ketika teori evolusi Darwin
bergulir dan diterima, maka ilmu pengetahuan telah mengenyampingkan al-Khaliq
(sang Pencipta) dan meyakini bahwa proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa
Pencipta. Oleh karena itulah, bagi Al-Attas dan Al-Faruqi ilmu modern ini
bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaimana peranan ilmu dalam pandangan
islam, tetapi sebaliknya malah membuat rusak serta menjadikan tersesat aqidah
Islam; serta di sisi lain justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang
berkepanjangan.
B. Letak
Perbedaan
Akan
tetapi, ada sedikit perbedaan dalam pendekatan yang digunakan oleh Al-Attas dan
Al-Faruqi. Beberapa perbedaan itu namapak pada hal-hal berikut ini:
1.
Dalam proses islamisasi
ilmu
Menurut
Al-Attas, proses islamisasi melibatkan dua langkah utama. Pertama ialah proses
mengisolir (membuang) unsur dan konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat dari ilmu pengetahuan. Langkah kedua ialah memasukkan unsur dan
konsep kunci Islam ke dalam setiap ilmu modern yang dianggap relevan. Dalam hal
ini Al-Attas mengambil pendekatan Imam Ghazali dalam aspek jiwa, dimana ia
menyarankan supaya sifat yang keji dibuang dahulu sebelum jiwa dihiasi dengan
sifat yang terpuji.
Jika
dalam proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) Al-Ghazali menyarankan
sifat keji yang “dibuang” adalah beberapa sifat seperti dengki dan sombong,
maka dalam proses islamisasi ilmu, Al-Attas menyarankan agar unsur-unsur dan
konsep-konsep asing yang harus “dibuang” adalah (1) doktrin bahwa akal
diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) sikap dualistik terhadap
realitas dan kebenaran, (3) doktrin
humanism, (4) pandangan hidup sekuler, (5) dan konsep drama-tragedi sebagai
unsur-unsur dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Adapun
jika Al-Ghazali menyarankan sifat-sifat terpuji yang harus “dimasukkan” setelah
proses pembuangan dalam penyucian jiwa adalah beberapa sifat seperti tawaddhu’,
qonaah, dan sabar, maka unsur dan konsep Islam yang harus “menggantikan” unsur
dan konsep asing dalam proses islamisasi ilmu adalah (1) manusia, (2) din, (3)
‘Ilm dan ma’rifah, (4) hikmah, (5) ‘adl, (6) amal-adab, dan (7) konsep
universitas (kulliyah-jam’iyah).
Berbeda
dengan Al-Attas yang menggunakan pendekatan Imam Ghazali, yaitu menggunakan
kaidah pembersihan sebelum dilakukan penghiasan, Al-Faruqi menawarkan 12
langkah yang harus dilalui dalam proses Islamisasi ilmu. Ke-12 langkah tersebut
adalah:
1) Penguasaan disiplin ilmu modern (prinsip, metodologi,
masalah, tema dan perkembangannya
2)
Survei disiplin ilmu
3)
Penguasaan ilmu warisan
Islam (antologi)
4)
Penguasaan ilmu warisan
Islam (analisis)
5)
Penentuan relevansi Islam
yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6)
Penilaian secara kritis
terhadap disiplin ilmu modern guna memperjelas kedudukannya dari sudut pandang
Islam, dan memberi panduan terhadap langkah yang harus diislamiasi
7)
Penilaian secara kritis
ilmu warisan Islam. Termasuk dalam hali ini koreksi terhadap pemahaman Al-Quran
dan Sunnah yang dianggap keliru dewasa ini
8)
Survei / kajian terhadap
permasalahan yang tengah dihadapi umat islam modern
9)
Survei / kajian
permasalahan yang dihadapi manusia
10) Analisis dan sintesis kreatif
11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam
kerangka Islam.
12) Penyebarluasanluasan ilmu yang sudah diislamkan.
2. Ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ingin
diislamisasi
Perbedaan
lainnya dalam pendekatan mereka ialah melibatkan ruang lingkup ilmu pengetahuan
yang ingin diislamisasikan. Al-Attas membatasi ilmu yang ingin diislamisasikan
adalah pengetahuan kontemporer (yang telah ter-Baratkan). Akan tetapi Al-Faruqi
memandang bahwa proses Islamisasi patut juga dilakukan ilmu turats islam
(ilmu-ilmu keislaman yang tidak ter-Baratkan).
3. Melibatkan tasawwuf sebagai metode dan intuisi sebagai
sumber ilmu
Adapun
perbedaan diantara konsepsi Al-Faruqi dan Al-Attas yang amat jelas berkaitan
dengan kepentingan tasawwuf dalam merumuskan konsep-konsep dasar dalam semua
cabang ilmu. Al-Faruqi mengecilkan peranan tasawwuf dan berpendapat bahwa
kerohanian yang terpancar melalui tasawwuf hanya membawa kepada kelesuan dan
karena itu wajar ia dianggap sebagai hal yang tak perlu bahkan merusak.
Al-Faruqi pun tidak mengakui intuisi sebagai sumber dan metode yang sah bagi
saintifik karena intuisi ini didukung oleh tasawwuf.
Sementara
itu, Al-Attas beranggapan bahwa tasawwuf tidak hanya penting, tapi perlu bagi
perumusan teori ilmu dan pendidikan. Selain itu, tasawwuf dipandang sebagai
cara untuk memperoleh ilmu kerohanian, dimana ilmu kerohanian dianggap sebagai
cara utama untuk menyelamatkan manusia dari cengkeraman empirisme, pragmatisme,
materialisme, dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern.
Bagi Al-Attas, justru ilmu kerohanian menjadi cara untuk mengatur pendidikan
dari perspektif terpadu dan komprehensif. Atas pandangan ini, Al-Attas berbeda
dengan Al-Faruqi dalam memandang intuisi. Al-Attas mendukung intuisi sebagai
sumber dan metode yang sah dalam metodologi saintifik. Ia menegaskan bahwa
intuisi dan penafsiran simbolik dari teks suci (nash) memainkan peranan yang
penting dalam memperoleh ilmu saintifik. Hal ini menurutnya berbeda dengan
metodologi sains modern yang tidak mengakui intuisi sebagai metode
saintifik.
4. Antara transformasi sosial dan perubahan individu
Berangkat
dari perbedaan pandangan terhadap tasawwuf sebagai metode dan sumber ilmu, maka
terdapat beberapa implikasi bagi konsep ilmu, pendidikan dan islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer dan islamisasi secara umum.
Al-Faruqi
pun memberi penekanan kepada transformasi sosial dibanding idealisme sufi yang
memberi perhatian kepada perubahan individu. Ia mengutamakan masyarakat dan
negara dibanding individu. Ini jelas sekali dari penekanan Al-Faruqi kepada
ummah. Adapun Al-Attas lebih menekankan individu dalam mencari penyelesaian
kepada masalah yang kita hadapi daripada menekankan kepada masyarakat dan
negara. Baginya, ummah dan negara tidak akan bisa dibangun jika individu Muslim
tidak memahami tentang Islam dan pandangannya, serta tidak lagi menjadi Muslim
yang baik. Al-Attas juga berpandangan bahwa penekanan kepada masyarakat dan
negara membuka pintu sekularisme, ideologi, dan pendidikan sekuler.
Demikianlah
pandangan Al-Attas dan Al-Faruqi berkaitan dengan Islamisasi Ilmu. Dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya Al-Attas dan Al-Faruqi memiliki kesamaan
pandangan bahwa akar masalah umat Islam terletak pada pada sistem pendidikan
mereka, khusunya masalah ilmu kontemporer, di mana penyelesaiannya terletak
dalam Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini (kontemporer). Akan tetapi, tidak
dapat dipungkiri ditemukan adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya
sebagaimana disebutkan di atas.
Akhirnya,
semoga tulisan ini mampu membuka cakrawala berpikir kita serta menambah luas
pemahaman kita tentang Islamisasi ilmu yang disebut-sebut sebagai “proyek” penting
dan mendesak untuk direalisasikan. (Abu Yasmin)
[i] Syed Muhammad Naquib
Al-Attas adalah ilmuwan berkewarganegaraan Malaysia, lahir di Bogor, Jawa
Barat, Indonesia, pada 5 September 1931. Al-Attas merupakan pendiri dan pimpinan
International Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC)
1989-hingga 2002. Al-Attas telah menghasilkan 26 judul buku dan 27 artikel
ilmiah. Berkat karya ilmiah itu dia mendapatkan dari The Imperial Iranian
Academy of Philosophy (1975), dari pakistan atas kajiannya terhadap iqbal
serta Pemegang Pertama Kursi Kehormatan al-Ghazali dalam Studi Pemikiran Islam.
[ii] Ismail Raji Al-Faruqi
lahir di Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Pernah belajar Islam di
universitas Al Azhar Cairo, kemudian belajar dan mengajar di Eropa dan Amerika.
Al-Faruqi meninggal dunia pada sebuah tragedi pembunuhan sadis yang menewaskan
istri dan keluarganya pada 27 Mei 1986. Al-Faruqi merupakan tokoh muslim dunia
yang dikenang namanya karena ide islamisasi Ilmu Pengetahuan.
[iii] Selain
Al-Attas dan Al-Faruqi, ada dua intelektual besar lainnya yaitu: Syeed Hosein
Nasr (Iran) dan Ziaudin Sardar (Pakistan)
0 thoughts on “Islamisasi Sains Menurut Al-Attas dan Al-Faruqi”