BREAKING NEWS
Search

SEJARAH AL-QURAN 2: Mushaf Ustmani dari Penulisan, Pencetakan hingga Penerjemahan

Oleh: Nurul Hakim Zanky, Lc
SMA SAINS INDONESIA

A.      Tulisan dalam Mushaf Utsmani

Panitia yang diangkat Utsman untuk menyalin mushaf menggunakan cara khusus dalam hal penulisan lafadz-lafadznya yang berbeda dengan standar baku penulisan Khat Arab. Para ulama menyebutnya dengan Rasm Ustmani ( رسم عثماني ) . Perbedaan itu akan tampak dalam aturan yang disetujui Ustman dalam menulis mushaf yang meliputi lima kaidah: hadzf, ziyâdah, badl, hamzah, dan  fashl-washl. Lima kaidah ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Kaidah
Keterangan
Contoh
1. Kaidah Hadzf (membuang)
1). Membuang alif
dalam ya nida
يَايُّهَا النَّاسُ
dalam ha tanbih
هؤُلاَءِ
bila diikuti dhamir seperti
نَجَّيْنهُ
setelah lam, jama mudzakkar dan muannats, dan wazan mafa’il 
خَلئِفُ , مُنفِقُوْنَ , مُنفِقتُ , مَسجِدُ  
dalam lafadz tertentu
إِلهٌ , رَحْمنِ , سُبْحنَ
2.) Membuang ya
dari isim manqush bertanwin dalam keadaan raf’u atau jar
غَيْرُ بَاغٍ
ya maful dala fiil amr
فاَرْهَبُوْنَ , فَاتَّقُوْنَ
3.) Membuang waw
bila bergandengan dengan waw lain seperti
فَاَوُوْ اِلَى الْكَهْفِ
menjadi  فَاَوْ اِلَى الْكَهْفِ
2. Kaidah Ziyadah (menambah)
1.) Menambah alif
setelah waw diakhir setiap ism jam’u atau yang menyerupainya
اُوْلُوْا الْاَلْبَبِ , مُلقُوْا رَبِّهِمْ
setelah hamzah diatas waw dan sebelum  hamzah
تَفْتؤا , مِائَةٌ
2.) Menambah ya
dalam kata
بِاَيْدٍ menjadi وَالسَّمَاءُ بَنَيْنَاهَا بِاَيِّيْدٍ وَإِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
3. Kaidah Hamzah
1.) jika hamzah hidup diawal kata maka harus ditulis alif
اَيُّوْبَ , اِذًا , فَبِأَيِّ
2.) jika hamzah hidup di tengah kata maka harus ditulis dengan huruf jenis harakatnya
سَأَلَ , سُئِلَ
4. Kaidah Badl (pengganti)
1.) Alif ditulis waw dalam contoh
صَلَوةٌ , زكَوةٌ , الرِّبَو
2.) Alif ditulis ya dalam contoh
بَلَى
3.) Nun ditulis alif dalam nun tauqid khafifah
إِذاً
5. Kaidah Washl dan Fashl
1.) Washl adalah menggabungkan suatua lafadz dengan lafadz lainnya yang seharusnya ditulis terpisah
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# `©9r& yìyJøgªU ¼çmtB$sàÏã
Lafadz   أَلَنْ harusnya ditulis أَنْ لَنْ
2.) Fashl adalah memisahkan lafadz yang seharusnya ditulis bergabung
¨br&ur $tB tbqããôtƒ `ÏB ÏmÏRrߊ ã@ÏÜ»t7ø9$# Lafadz   أَنَّ مَاharusnya ditulis أَنَّمَا  

Bolehkah kita menulis Al-Quran menyalahi kaidah Rasm Utsmani?
Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam mensikapi penulisan Al-Quran pada Rasm Ustmani. Perbedaan itu berdampak pada boleh tidaknya menulis ayat yang menyalahinya. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1.       Bahwa Rasm Ustmani adalah Tauqifi yang cara penulisannya berdasarkan petunjuk Nabi (Ibn Mubarak dan Assuyuti)
2.       Rasm Ustmani bersifat Ijtihadi, atas dasar itu dibolehkan menulis Al-Quran untuk menyalahinya (Abu Bakar Al Baqilani)
3.       Sebaiknya Al-Quran ditulis menurut para penulis yang pertama, sebab berpegang kepada Rasm Ustmani merupakan cara untuk memelihara persatuan umat islam atas dasar satu syiar (Malik, Syafii dan Hanafi)

B.      Penyempurnaan Mushaf Utsmani

1.       Pemberian Titik dan Syakal
Tulisan Al-Quran pada masa awal berbeda dengan tulisan Al-Quran sekarang yaitu tidak adanya titik dan syakal. Memang hal itu memungkinkan dibaca lebih dari satu cara, tetapi waktu itu tidak menimbulkan masalah karena para sahabat sangat mampu membedakan setiap huruf mengingat mereka sangat hafal Al-Quran. Menurut Al-Askari, kaum muslim membaca mushaf yang tidak bertitik dan bersyakal itu selama lebih 40 tahun hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Setelah islam menyebar ke berbagai wilayah terutama yang tidak berbahasa Arab, mulai terasa kesulitan dalam membaca. Mereka banyak yang tak mampu membedakan bacaan huruf yang serupa misalnya ba, ta, dan tsa karena bentuknya serupa dan tanpa tanda-tanda. Timbulah kehawatiran pemerintah akan kemungkinan perubahan Al-Quran jika penulisan dibiarkan tanpa titik dan syakal, maka dipikirkanlah penciptaan tanda-tanda tertentu yang dapat mempermudah bacaan.

Perlu dipahami bahwa penyempurnaan mushaf tidak sekaligus tetapi berlangsung lama dan melibatkan banyak peristiwa dan tokoh. Dalam beberapa riwayat disebut-sebut tokoh yang berjasa dalam hal ini adalah Ubaidillah bin Ziad, Abu Aswad Ad-Duwali, Yusuf Attsaqofi, Yahya bin Yamar, dan Nashir bin ‘Ashim Al-Laisi. Tetapi menurut Subhi Shalih, Abu Aswadlah orang yang pertama menemukan titik, kemudian dikembangkan oleh Yahya dan Nashir.

Imam Zarqoni menyatakan bahwa suatu ketika Abu Aswad diperintahkan Ubaidillah bin Ziad untuk membubuhkan tanda baca Al-Quran, namun dia menangguhkan permintaan  itu sampai terjadi peristiwa salah baca yang didengarnya sendiri, yaitu surat Attaubah ayat 3:

إن الله بريئ من المشركين  ورسوله
Mendengar bacaan itu dia terkejut, kemudian dia pergi menuju Bashrah menemui Ziad dan menyanggupi permintaannya. Sejak itu dia mulai giat bekerja dan berhasil menemukan titik diatas huruf untuk Fathah, titik dibawah huruf untuk Kasrah, titik diantara dua huruf untuk Dhommah, dan dua titik untuk Sukun.

Selanjutnya Nashir dan Yahya sebagai murid Abu Aswad melanjutkan proyek tersebut dengan memberi titik pada sejumlah huruf yang memiliki kesamaan bentuk.

س  ش
ب  ت  ث
ط  ظ
ح  خ
ص  ض
د  ذ

Selanjutnya Al Khalil merupakan tokoh selanjutnya yang berinisiatif untuk membuat tanda-tanda huruf baru untuk Dhammah, Sukun, Hamzah dan Syaddah

Dommah

و
Sukun

ىه
Hamzah
ء
ع
Sayaddah

س

Usaha penyempurnaan tanda baca ini berlangsung selama abad 3 H, atau 200 tahun setelah pertama kali dirintis oleh Abu Aswad. Pada abad tersebut masih ada ulama yang menolak pencantuman tanda baca karena kehawatiran terjadi perubahan pada Al-Quran. Akan tetapi, kehawatiran itu menjadi berganti dengan kehawatiran yang lebih besar yaitu kesalahan orang awam membaca Al-Quran, hingga hilanglah kehawatiran itu. (Baca MEMAHAMI KONSEP AL QURAN)

2.       Pembagian Al-Quran kepada Juz dan Hizb
Setelah ulama menandai Al-Quran, para ulama lainnya mulai membagi Al-Quran (ta’jzi) dan mengelompokokkannya (tahdzib). Para ulama membagi Al-Quran kepada 30 bagian yang dikenal dengan istilah Juz. Maka 30 Juz itu pula dibagi menjadi dua bagian besar yang batasannya terdapat pada juz ke-15, surat Al-Kahfi ayat 19 yaitu lafadz walyatalatthâf( وليتلطاف )  .

Sementara itu dalam setiap Juz dibagi menjadi empat Hizb (kelompok). Seperempat bagian pertama ditandai dengan ربع  , untuk setengah bagian ditandai dengan نصف  , dan untuk tiga perempat bagian ditandai dengan   ثلث. Pengelompokkan ini tidak terlalu sama. Dalam Al-Quran terbitan lain misalnya, dijumpai pengelompokkan setiap Juz dibagi menjadi dua Hizb, setiap Hizb dibagi menjadi dua Rubu’.

Ada ulama yang mencantumkan nama surat beserta kerterangan Makiyyah atau Madaniyahnya, jumlah ayatnya, malah ada yang memberi aneka dekorasi.

Selain aneka dekorasi, kita akan menjumpai disamping garis margin, yaitu huruf  ع dan خ , yang demikian itu merupakan tanda bahwa pada surat tersebut sudah mencapai lima ayat ( خمس )  dan sepuluh ( عشر )

Para ahli tulisan Arab juga mempunyai andil besar dalam memperindah mushaf Al-Quran. Sampai akhir abad 4 H, para penulis mushaf giat menulis dengan huruf Kûfi, tetapi lambat laun tergeser oleh Naskhi yang indah pada permulaan abad ke- 5 H, termasuk penggunaan titik dan harakat yang kita tau pada mushaf sekarang ini. 
  
3.       Pencetakan al-Quran
Beberapa abad lamanya penulisan Al-Quran hanya menggunakan tangan, sudah tentu penyebarannya kurang meluas. Setelah ditemukan mesin cetak pada abad ke-15 M, maka tersebarlah Al-Quran ke berbagai wilayah termasuk Eropa.

Al-Quran pertama kali dicetak di Eropa yaitu di Venesia (Italia) sekitar tahun 1530, tetapi begitu muncul, gereja langsung memusnahkannya. Kemudian di Hinkelman, Hamburg (Jerman) mencetaknya pada tahun 1694, dan diikuti Maraci, Padon (Italia) sekitar tahun 1698, tetapi hasil cetakannya tidak beredar di dunia Islam.

Di Petersbourg (Rusia) juga dicetak berkat hasil usaha Sultan Utsmani. Di Leipzig Flugel (Jerman) juga mencetaknya pada 1834. Di Iran Al-Quran dicetak di dua tempat yaitu di Teheran tahun 1828 dan Tibriz tahun 1833. Demikian pula di India mulai dicetak sekitar tahun 1877.

Yang paling booming mendapat sambutan dari dunia Islam adalah ketika Al-Quran cetakan Kairo muncul pada tahun 1923 dibawah pengawasan Syaikhul Azhar dan disahkan oleh panitia khusus yang diangkat oleh Raja Fuad I. Mushaf itu ditulis dan disusun sesuai Qiroat ‘Ashim riwayat Hafsah.

Di Indonesia sendiri, saat ini telah banyak penerbit yang mencetak Al-Quran setelah terlebih dahulu mendapat rekomendasi Lajnah Pentashih Al-Quran DEPAG RI berdasar penetapan Menteri Agama No.37 tahun 1957. 

4.       Penerjemahan al-Quran 
Jauh setelah meninggalnya rasulullah, orang tidak berani menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahas asing. Menurut Abu Bakar Aceh (1980), pada masa Muwahhidin memerintah Spanyol tahun 1142-1287 M, beberapa terjemahan Al-Quran dimusnahkan, tetapi setelah itu diperbolehkan. Syaikh Saad Al Siraji menterjemahkan ke dalam bahasa Parsi, setelah itu disusul dalam bahasa Turki dan India.

Para sarjana Barat pun tak ketinggalan menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin. Menurut Abdullah Al Zanzani, penerjemah pertama ke dalam bahasa Latin adalah Robert Keenet  tahun 1143 yang dibantu oleh Pedro Detoledo dan seorang sarjana Arab. Dari bahasa Latin inilah lalu orang menerjemahkannya ke dalam bahasa Eropa seperti Inggris, Prancis, Itali dan Spanyol.

Banyak sekali sarjana eropa  yang disebut telah menerjemahkan Al-Quran, namun umumnya terjemahan mereka kurang mendapat tempat di hati masyarakat muslim, karena karya mereka sangat meragukan disamping identitas mereka yang umumnya non Muslim. Dalam hal ini muqaddimah terjemahan DEPAG RI menyebutkan bahwa kebanyakan para sarjana tersebut adalah orientalis yang bertujuan menjelekan dan memberi citra buruk tentang Islam. Hal ini mudah dipahami jika Thomas Carlily menyatakan bahwa Al-Quran tidak sampai ke Eropa dengan secara sahih.             

Kedalam bahasa Urdu diterjemahkan oleh beberapa ulama besar diantaranya: Syaikh Abdul Qodir Delhi, Syikh Syafiyuddin, Syaikh Asyraf Ali Al Tantowi, sekitar pada tahun 1800 an. Ke dalam bahasa China diterjemahkan oleh ulama Tiongkok bernama Abdurrahman Wan Yih Tsyai.

Di Indonesia usaha serupa dimulai kira-kira abad ke -17 M oleh Abdul Rauf Al Fansuri seorang ulama Singkel Aceh dengan menyalin tafsir Baidhawi ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu muncul terjemahan dalam berbagai bahasa daerah seperti  Jawa, Sunda, Melayu, dan Bahasa Indonesia atas usaha perkumpulan Muhammadiyah, Persatuan Islam Bandung, dan beberapa organisasi Islam lainnya.  

Dizaman modern kita juga mengenal nama-nama besar yang telah berjasa dalam usaha ini, seperti: Prof. Mahmud Yunus, KH. Ahmad Hasan, KH. Munawar Khalil, KH. Abdul Karim Amrullah atau Hamka dan  Prof. Hasbi Assidqi. Wallâhu ‘Alâm bi al Shawwâb.     (Baca SEJARAH AL- QURAN 1)



nanomag

Terimakasih atas kunjungan anda kritik dan saran anda sangat berarti buat kami


0 thoughts on “SEJARAH AL-QURAN 2: Mushaf Ustmani dari Penulisan, Pencetakan hingga Penerjemahan