Oleh: Nurul Hakim Zanky,
Lc
A. Tulisan dalam
Mushaf Utsmani
Panitia yang diangkat Utsman untuk menyalin mushaf menggunakan cara
khusus dalam hal penulisan lafadz-lafadznya yang berbeda dengan standar baku
penulisan Khat Arab. Para ulama menyebutnya dengan Rasm Ustmani ( رسم عثماني ) .
Perbedaan itu akan tampak dalam aturan yang disetujui Ustman dalam menulis
mushaf yang meliputi lima kaidah: hadzf, ziyâdah, badl, hamzah,
dan fashl-washl. Lima kaidah ini
dapat dilihat pada tabel berikut:
Kaidah
|
Keterangan
|
Contoh
|
|
1. Kaidah
Hadzf (membuang)
|
1).
Membuang alif
|
dalam ya nida
|
يَايُّهَا النَّاسُ
|
dalam ha tanbih
|
هؤُلاَءِ
|
||
bila diikuti dhamir seperti
|
نَجَّيْنهُ
|
||
setelah lam, jama mudzakkar dan muannats, dan wazan mafa’il
|
خَلئِفُ , مُنفِقُوْنَ , مُنفِقتُ , مَسجِدُ
|
||
dalam
lafadz tertentu
|
إِلهٌ , رَحْمنِ , سُبْحنَ
|
||
2.)
Membuang ya
|
dari
isim manqush bertanwin dalam keadaan raf’u atau jar
|
غَيْرُ بَاغٍ
|
|
ya
maful dala fiil amr
|
فاَرْهَبُوْنَ , فَاتَّقُوْنَ
|
||
3.)
Membuang waw
|
bila
bergandengan dengan waw lain seperti
|
فَاَوُوْ اِلَى الْكَهْفِ
menjadi فَاَوْ اِلَى الْكَهْفِ
|
|
2. Kaidah
Ziyadah (menambah)
|
1.) Menambah alif
|
setelah waw
diakhir setiap ism jam’u atau yang menyerupainya
|
اُوْلُوْا الْاَلْبَبِ , مُلقُوْا رَبِّهِمْ
|
setelah
hamzah diatas waw dan sebelum hamzah
|
تَفْتؤا , مِائَةٌ
|
||
2.)
Menambah ya
|
dalam
kata
|
بِاَيْدٍ menjadi وَالسَّمَاءُ بَنَيْنَاهَا بِاَيِّيْدٍ
وَإِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
|
|
3.
Kaidah Hamzah
|
1.)
jika hamzah hidup diawal
kata maka harus ditulis alif
|
اَيُّوْبَ , اِذًا , فَبِأَيِّ
|
|
2.)
jika hamzah hidup di tengah kata maka harus ditulis dengan huruf jenis
harakatnya
|
سَأَلَ , سُئِلَ
|
||
4.
Kaidah Badl (pengganti)
|
1.)
Alif ditulis waw dalam contoh
|
صَلَوةٌ , زكَوةٌ , الرِّبَو
|
|
2.)
Alif ditulis ya dalam contoh
|
بَلَى
|
||
3.)
Nun ditulis alif dalam nun tauqid khafifah
|
إِذاً
|
||
5.
Kaidah Washl dan Fashl
|
1.)
Washl adalah menggabungkan suatua lafadz dengan lafadz lainnya yang
seharusnya ditulis terpisah
|
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# `©9r& yìyJøgªU ¼çmtB$sàÏã
Lafadz أَلَنْ harusnya
ditulis أَنْ لَنْ
|
|
2.)
Fashl adalah memisahkan lafadz yang seharusnya ditulis bergabung
|
¨br&ur $tB tbqããôt `ÏB ÏmÏRrß ã@ÏÜ»t7ø9$# Lafadz أَنَّ
مَاharusnya
ditulis أَنَّمَا
|
Bolehkah kita menulis Al-Quran menyalahi kaidah Rasm
Utsmani?
Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam mensikapi
penulisan Al-Quran pada Rasm Ustmani. Perbedaan itu berdampak pada boleh
tidaknya menulis ayat yang menyalahinya. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1. Bahwa Rasm Ustmani adalah
Tauqifi yang cara penulisannya berdasarkan
petunjuk Nabi (Ibn Mubarak
dan Assuyuti)
2. Rasm Ustmani bersifat
Ijtihadi, atas dasar itu dibolehkan menulis Al-Quran untuk menyalahinya (Abu
Bakar Al Baqilani)
3. Sebaiknya Al-Quran ditulis menurut para penulis yang pertama, sebab
berpegang kepada Rasm Ustmani merupakan cara untuk memelihara persatuan umat
islam atas dasar satu syiar (Malik, Syafi’i dan Hanafi)
B. Penyempurnaan
Mushaf Utsmani
1. Pemberian
Titik dan Syakal
Tulisan Al-Quran pada
masa awal berbeda dengan tulisan Al-Quran
sekarang yaitu tidak adanya titik dan syakal. Memang hal itu memungkinkan
dibaca lebih dari satu cara, tetapi waktu itu tidak menimbulkan masalah karena
para sahabat sangat mampu membedakan setiap huruf mengingat mereka sangat hafal
Al-Quran. Menurut Al-Askari, kaum muslim membaca mushaf yang tidak bertitik dan
bersyakal itu selama lebih 40 tahun hingga masa Khalifah
Abdul Malik bin Marwan.
Setelah islam menyebar
ke berbagai wilayah terutama yang tidak berbahasa Arab, mulai terasa kesulitan dalam membaca. Mereka
banyak yang tak mampu membedakan bacaan huruf yang serupa misalnya ba, ta, dan tsa karena bentuknya serupa dan tanpa
tanda-tanda. Timbulah kehawatiran pemerintah akan kemungkinan perubahan Al-Quran
jika penulisan dibiarkan tanpa titik dan syakal, maka dipikirkanlah penciptaan
tanda-tanda tertentu yang dapat mempermudah bacaan.
Perlu dipahami bahwa penyempurnaan mushaf tidak sekaligus tetapi
berlangsung lama dan melibatkan banyak peristiwa dan tokoh. Dalam beberapa
riwayat disebut-sebut tokoh yang berjasa dalam hal ini adalah Ubaidillah bin
Ziad, Abu Aswad Ad-Duwali, Yusuf Attsaqofi, Yahya bin Yamar, dan Nashir bin
‘Ashim Al-Laisi. Tetapi menurut Subhi Shalih,
Abu Aswadlah orang yang pertama menemukan titik, kemudian
dikembangkan oleh Yahya dan Nashir.
Imam Zarqoni menyatakan bahwa
suatu ketika Abu Aswad diperintahkan Ubaidillah bin Ziad untuk membubuhkan tanda baca Al-Quran, namun dia
menangguhkan permintaan itu sampai
terjadi peristiwa salah baca yang didengarnya sendiri, yaitu surat Attaubah ayat 3:
إن الله بريئ من المشركين ورسوله
Mendengar bacaan itu dia terkejut, kemudian dia pergi menuju Bashrah menemui Ziad dan menyanggupi
permintaannya. Sejak itu dia mulai giat bekerja dan berhasil menemukan titik
diatas huruf untuk Fathah, titik dibawah huruf untuk Kasrah, titik diantara dua huruf untuk Dhommah, dan dua titik untuk Sukun.
Selanjutnya Nashir
dan Yahya sebagai murid Abu
Aswad melanjutkan proyek
tersebut dengan memberi titik pada sejumlah
huruf yang memiliki kesamaan bentuk.
س ش
|
ب ت ث
|
ط ظ
|
ح خ
|
ص ض
|
د ذ
|
Selanjutnya Al Khalil merupakan tokoh selanjutnya yang berinisiatif
untuk membuat tanda-tanda huruf baru untuk Dhammah, Sukun, Hamzah
dan Syaddah
Dommah
|
و
|
|
Sukun
|
ىه
|
|
Hamzah
|
ء
|
ع
|
Sayaddah
|
س
|
Usaha penyempurnaan tanda baca ini berlangsung selama abad 3 H, atau
200 tahun setelah pertama kali dirintis oleh Abu Aswad. Pada abad tersebut
masih ada ulama yang menolak pencantuman tanda baca karena kehawatiran terjadi
perubahan pada Al-Quran. Akan
tetapi, kehawatiran itu menjadi berganti dengan
kehawatiran yang lebih besar yaitu kesalahan orang awam membaca Al-Quran, hingga hilanglah kehawatiran itu. (Baca MEMAHAMI KONSEP AL QURAN)
2. Pembagian Al-Quran kepada Juz dan Hizb
Setelah ulama menandai Al-Quran, para ulama lainnya mulai membagi Al-Quran (ta’jzi) dan mengelompokokkannya (tahdzib).
Para ulama membagi Al-Quran kepada 30 bagian yang dikenal dengan istilah Juz. Maka 30 Juz itu pula dibagi menjadi dua bagian besar yang batasannya terdapat pada juz ke-15, surat Al-Kahfi ayat 19 yaitu lafadz walyatalatthâf( وليتلطاف ) .
Sementara itu dalam
setiap Juz dibagi menjadi empat Hizb (kelompok). Seperempat bagian pertama
ditandai dengan ربع , untuk
setengah bagian ditandai dengan نصف , dan untuk tiga perempat bagian ditandai
dengan ثلث. Pengelompokkan ini tidak terlalu sama. Dalam Al-Quran terbitan
lain misalnya, dijumpai pengelompokkan setiap Juz dibagi menjadi dua Hizb,
setiap Hizb dibagi menjadi dua Rubu’.
Ada ulama yang mencantumkan nama surat beserta kerterangan Makiyyah atau Madaniyahnya, jumlah ayatnya,
malah ada yang memberi aneka dekorasi.
Selain aneka dekorasi, kita akan menjumpai disamping garis margin, yaitu
huruf ع dan
خ , yang demikian itu merupakan tanda bahwa pada surat tersebut
sudah mencapai lima ayat ( خمس
) dan sepuluh ( عشر )
Para ahli tulisan Arab juga mempunyai
andil besar dalam memperindah mushaf Al-Quran.
Sampai akhir abad 4 H, para penulis mushaf giat menulis dengan huruf Kûfi,
tetapi lambat laun tergeser oleh Naskhi yang indah pada permulaan abad
ke- 5 H, termasuk penggunaan titik dan harakat yang kita tau pada mushaf
sekarang ini.
3. Pencetakan
al-Quran
Beberapa abad lamanya penulisan Al-Quran
hanya menggunakan tangan, sudah tentu penyebarannya kurang meluas. Setelah
ditemukan mesin cetak pada abad ke-15 M, maka tersebarlah Al-Quran ke berbagai
wilayah termasuk Eropa.
Al-Quran pertama kali dicetak di Eropa yaitu di Venesia (Italia)
sekitar tahun 1530, tetapi begitu muncul, gereja langsung memusnahkannya. Kemudian di Hinkelman, Hamburg (Jerman)
mencetaknya pada tahun 1694, dan diikuti Maraci, Padon (Italia) sekitar tahun
1698, tetapi hasil cetakannya tidak
beredar di dunia Islam.
Di Petersbourg (Rusia) juga dicetak berkat hasil usaha Sultan Utsmani.
Di Leipzig Flugel (Jerman) juga mencetaknya pada 1834. Di Iran Al-Quran dicetak di dua tempat yaitu di Teheran
tahun 1828 dan Tibriz tahun 1833. Demikian pula di India mulai dicetak sekitar
tahun 1877.
Yang paling booming mendapat sambutan dari dunia Islam adalah
ketika Al-Quran cetakan Kairo muncul pada tahun 1923 dibawah pengawasan
Syaikhul Azhar dan disahkan oleh panitia khusus yang diangkat oleh Raja Fuad I.
Mushaf itu ditulis dan disusun sesuai Qiroat ‘Ashim riwayat Hafsah.
Di Indonesia sendiri, saat ini telah banyak penerbit yang mencetak Al-Quran setelah terlebih dahulu mendapat
rekomendasi Lajnah Pentashih Al-Quran
DEPAG RI berdasar penetapan Menteri Agama No.37 tahun 1957.
4. Penerjemahan
al-Quran
Jauh setelah meninggalnya rasulullah,
orang tidak berani menerjemahkan Al-Quran
ke dalam bahas asing. Menurut Abu Bakar Aceh (1980), pada masa Muwahhidin
memerintah Spanyol tahun 1142-1287 M, beberapa terjemahan Al-Quran dimusnahkan,
tetapi setelah itu diperbolehkan. Syaikh Sa’ad
Al Siraji menterjemahkan ke dalam bahasa Parsi, setelah itu disusul dalam
bahasa Turki dan India.
Para sarjana Barat pun tak ketinggalan menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin. Menurut Abdullah Al Zanzani, penerjemah
pertama ke dalam bahasa Latin adalah Robert Keenet tahun 1143 yang dibantu oleh Pedro Detoledo
dan seorang sarjana Arab. Dari bahasa Latin inilah lalu orang menerjemahkannya
ke dalam bahasa Eropa seperti Inggris, Prancis, Itali dan Spanyol.
Banyak sekali sarjana eropa
yang disebut telah menerjemahkan Al-Quran, namun umumnya terjemahan
mereka kurang mendapat tempat di hati masyarakat muslim, karena karya mereka
sangat meragukan disamping identitas mereka yang umumnya non Muslim. Dalam hal
ini muqaddimah terjemahan DEPAG RI menyebutkan bahwa kebanyakan para sarjana
tersebut adalah orientalis yang bertujuan menjelekan dan memberi citra buruk
tentang Islam. Hal ini mudah dipahami jika Thomas Carlily menyatakan bahwa Al-Quran tidak sampai ke Eropa dengan secara
sahih.
Kedalam bahasa Urdu diterjemahkan oleh beberapa ulama besar
diantaranya: Syaikh Abdul Qodir Delhi, Syikh Syafiyuddin, Syaikh Asyraf Ali Al
Tantowi, sekitar pada tahun 1800 an. Ke dalam bahasa China diterjemahkan oleh
ulama Tiongkok bernama Abdurrahman Wan Yih Tsyai.
Di Indonesia usaha serupa dimulai kira-kira abad ke -17 M oleh Abdul
Rauf Al Fansuri seorang ulama Singkel Aceh dengan menyalin tafsir Baidhawi ke
dalam bahasa Melayu. Setelah itu muncul terjemahan dalam berbagai bahasa daerah
seperti Jawa, Sunda, Melayu, dan Bahasa
Indonesia atas usaha perkumpulan Muhammadiyah, Persatuan Islam Bandung, dan
beberapa organisasi Islam lainnya.
Dizaman modern kita juga mengenal nama-nama besar yang telah berjasa
dalam usaha ini, seperti: Prof. Mahmud Yunus, KH. Ahmad Hasan, KH. Munawar
Khalil, KH. Abdul Karim Amrullah atau Hamka dan
Prof. Hasbi Assidqi. Wallâhu ‘Alâm bi al Shawwâb. (Baca SEJARAH AL- QURAN 1)
0 thoughts on “SEJARAH AL-QURAN 2: Mushaf Ustmani dari Penulisan, Pencetakan hingga Penerjemahan”