BREAKING NEWS
Search

SEJARAH AL-QURAN 1: Al-Quran dari Wahyu ke Kompilasi


Oleh: Nurul Hakim Zanky, Lc


SMA TRENSAINS SRAGENUntuk menjadi mushaf seperti saat ini, Al-Quran mengalami proses yang sangat panjang, serta persitiwa penting yang melibatkan peran banyak orang. Pemeliharaan Al-Quran seperti yang tercatat dalam sejarah ditempuh melalui dua cara, penghafalan (hifdzan) dan penulisan (kitâbatan).




A.      Pemeliharaan Melalui Hafalan

Pada masa permulaan islam sangat sedikit masyarakat Arab yang mempunyai kepandaian membaca dan menulis. Walaupun demikian, mereka dikaruniai kekuatan daya ingat yang luar biasa. Melalui halan inilah rasulullah mengajarkan Al-Quran kepada para sahabat, termasuk untuk keperluan praktis seperti bacaan shalat. Dalam kaitan ini nabi menjadi pelopor penghapal Al-Quran (sayyid al-huffâdz). Setiap kali turun ayat, nabi menghafalnya kemudian menyuruh para sahabat untuk ikut serta menghafalnya. Pada kesempatan lain nabi secara rutin memeriksa hafalan meraka (murâja’ah). 

Nabi menggunakan Masjid sabagai basis pengajaran Al-Quran. Di masjid sering terdengar gemuruh suara membaca Al-Quran, sehingga dalam sebuah kesempatan nabi menyuruh untuk merendahkan suara supaya tidak saling mengganggu, khususnya kepada yang sedang melaksanakan shalat.

Bila ada orang yang masuk islam nabi menyerahkan tanggung jawab kepada kader sahabat untuk mengajarinya Al-Quran. Kegiatan menghafal Al-Quran terus berlanjut secara berantai dari generasi ke generasi, sampai saat ini berjuta orang yang telah hafal Al-Quran.

Ada hal penting sehubungan dengan pemeliharaan melalui penghapalan, yaitu nabi belum menemui ajalnya sebelum Al-Quran dihafal dan tertanam di dada para sahabat, dan Jibril mengulang bacaan nabi setahun sekali, bahkan di tahun menjelang wafatnya Jibril mengulangnya dua kali. (Baca Memahami Konsep Wahyu)

B.      Pemeliharaan Melalui Pengumpulan dan Penulisan

Pemeliharaan Al-Quran dalam arti penguumpulan dan penulisan, prosesnya mengalami tiga periode, yaitu periode rasulullah masih hidup, Abu Bakar, dan Utsman bin Affan.  
 
1.       Periode Rasulullah
Dimasa rasulullah, cara pemeliharaan Al-Quran selain malalui penghafalan, adalah dengan penulisan setiap ayat yang diturunkan. Dalam hal ini rasulullah mempunyai beberapa penulis wahyu, diantaranya: Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Khalid bin Walid, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ásh, Abu Musa Al Asyari, dan Abu Darda. Setiap turun wahyu, beliau menyuruh mereka menuliskan dan meletakkannya ditempat-tempatnya yang telah ditentukan. Mereka menuliskan pada benda-benda yang mudah didapatkan saat itu seperti pelepah kurma, batu tipis, kulit binatang, tulang, dan lain-lain. Mereka menyimpannya di rumah rasulullah.

Selain itu, merekapun mempunyai catatan masing-masing yang pada periode selanjutnya merupakan bantuan berharga bagi pengumpulan dalam bentuk mushaf. Hal itu memungkinkan saling mengkontrol antara naskah yang berada di tangan para penulis dan lembaran yang berada di rumah nabi. Disamping itu ada kontrol lain dari penghafal Al-Quran di kalangan sahabat. Kedaan itulah yang menjamin Al-Quran tetap terjaga keasliannya.

Pengumpulan Al-Quran telah selesai dimasa rasul masih hidup, namun masih terbatas pada penulisan ayat-ayat yang turun, walau masih terpisah-pisah. Pengumpulan dalam bentuk mushaf saat itu belum diperlukan karena para sahabat menghafalnya di dalam dada sesuai perintah Nabi. Nabipun memberi tahu bahwa susunan ayat dan surat berdasar kehendak Allah (Tauqifi).
                 
2.       Periode Abu Bakar
Setelah rasulullah wafat, kendali pemerintahan dipegang oleh Abu Bakar Asshidiq. Diawal pemerintahannya terjadi banyak pemberontakan, salahsatunya penentangan kewajiban zakat dari beberapa kabilah yang dipimpin oleh Musailamah. Gerakan itu melahirkan peristiwa perang Yamamah yang dimenangkan kaum muslim, namun membawa korban 70 sahabat penghafal Al-Quran (huffâdz). Peristiwa itu mendorong Umar bin Khatab untuk mengusulkan kepada khalifah supaya segera mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf. Beliau khawatir, mushaf hilang seiring berkurangnya para huffadzul Quran.

Pada mulanya khalifah tidak menyetujui karena perbuatan itu tidak dicontohkan rasulullah, kemudian khalifah mengangkat Zaid bin Tsabit untuk menangani tugas itu meski pertama kali menolaknya sebagaimana Abu Bakar menolak usulan Umar.

Zaid mulai melaksanakan tugas dengan mengambil dua sumber sebagai rujukan, yaitu: (1) para sahabat penghafal Quran, (2) catatan yang mereka miliki, (3) berikut catatan yang berada di rumah rasul.

Sebenarnya Zaid mampu tanpa harus melihat catatan Al-Quran yang berada di rumah rasul maupun milik sahabat, karena Zaid sendiri adalah seorang hafidz Quran. Langkah yang ditempuh Zaid itu menujukkan kehati-hatian untuk menghindari ketidakcocokan antara hafalan dan catatan. Menurutnya, setiap ayat harus disaksikan dua kesaksian yaitu hafalan dan catatan, sehingga diantara keduannya saling mengontrol.

Tugas berat itu dilaksanakan setahun lamanya. Setelah selesai, mushaf diserahkan kepada khalifah sebagai arsip negara. Setelah khalifah wafat, mushaf beralih tangan ke khalifah berikutnya yaitu Umar bi Khattab, dan setelah wafatnya Umar mushaf beralih ke tangan Hafsah, istri rasulullah yang juga putri khalifah Umar.

Dalam periode tersebut, pemeliharaan Al-Quran telah berhasil mengumpulkan ayat dari lembaran-lembaran kedalam bentuk mushaf, tetapi belum sampai pada penyusunan surat-surat; Karena motif waktu itu kekhawatiran Al-Quran hilang sehubungan banyak sahabat penghafal Al-Quran yang gugur di medan Yamamah maupun kematian secara normal.

Usaha pengumpulan pada periode ini melibatkan banyak orang, yaitu Abu Bakar sebagai pemegang kebijakan, Zaid bin Tsabit sebagai pelaksana, dan para sahabat yang mempunyai catatan serta hafalan yang memudahkan Zaid merealisasikan usaha itu. Yang tidak bisa dilupakan adalah jasa Umar bin Khatab sebagai orang yang memiliki ide.      

3.       Periode Utsman bin Affan 
Setelah Umar meninggal, jabatan khalifah berpindah ke tangan Ustman bin Affan. Pada masa pemerintahannya wilayah kekuasaan Islam semakin meluas meliputi Mesir, Iraq, Syam, juga Persia. Seiring perluasan wilayah, khalifah mengirim para huffadz untuk membimbing dan mengajari mereka yang baru masuk Islam.

Bacaan Al-Quran para sahabat satu sama lain tidak selalu sama karena mereka berasal dari berbagai daerah yang mempuyai latar belakang berbeda. Mereka mengajarkan kepada masyarakat dengan bacaan yang mereka terima dari rasul sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Maka penduduk di wilayah-wilayah Islam itu mengambil bacaan para sahabat. Penduduk Syam membaca dengan qiraat Ubay bin Kaab, penduduk Kufah belajar dari Ibn Mas’ud, dan yang lainnya dengan qiraat Abu Musa Al Asyari. Pada masa-masa selanjutnya perbedaan bacaan itu berdampak terhadap pertentangan di kalangan kaum muslim.

Dalam kitab shahihnya, Bukhari meriwayatkan hadis bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepada Ibn Syihab pada saat tentara Syam dan Iraq berperang membela dakwah di Armenia dan Azarbaizan, Huzaifah ibn Yaman sangat khawatir akan perbedaan bacaan Al-Quran dikalangan umat Islam. Dia mengusulkan   untuk mempersatukan umat sebelum mereka berselisih tentang Al-Quran. Usulan itu diterima, kemudian khalifah membentuk panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, dan tiga yang lain berasal dari suku Quraisy.

Dalam riwayat lain dinyatakan, ide penyatuan mushaf adalah kecemasan khalifah akan perselisihan kaum muslim mengenai bacaan Al-Quran yang memuncak. Berdasarkan riwayat Abu Qilabah bahwa dimasa Khalifah Utsman, setiap guru qiraat mengajar muridnya dengan qiraat tertentu. Ketika para murid dari berbagai perguruan berkumpul, terjadi perselisihan bacaan, lalu mereka melapor pada guru masing-masing sehingga saling mengkafirkan. Berita itu sampai kepada khalifah, lalu beliau angkat bicara ‘kalian bertengkar tentang bacaan padahal aku di tengah-tengah kalian, bagaimana orang-orang yang jauh dariku? tentu mereka bertengkar lebih jauh lagi’. Inilah yang menyebabkan khalifah mengumpulkan sahabat untuk mempersatukan mushaf.

Khalifah kemudian mengirim surat kepada Hafsah berisi permintaan agar bersedia menyerahkan mushaf yang disimpannya untuk disalin dan mengangkat empat orang sahabat panitia. Para sahabat itu terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrhman bin Harist. Khalifah memerintahkan panitia untuk bekerja sama disertai pesan jika terjadi perbedaan diantara mereka hendaklah Al-Quran ditulis dalam dialek Quraisy karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa itu. Panitia lalu bekerjasama dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.

Pada tahap selanjutnya khalifah mengirim mushaf ke setiap wilayah Islam disertai perintah untuk memusnahkan setiap catatan pribadi atau mushaf lain yang berbeda dengan mushaf hasil kerja panitia, karena catatan yang dimiliki para sahabat tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Ada catatan sahabat yang mencantumkan penjelasan rasulullah untuk ayat-ayat tertentu dengan maksud pelestarian makna meski yang bersangkutan sangat mampu memisahkan mana ayat-ayat dan mana penjelasan rasulullah. Ada pula catatan sahabat yang mempunyai kode-kode tertentu yang hanya dapat dipahami oleh pemilik bersangkutan.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah salinan mushaf, ada yang menyatakan lima, ada yang menyatakan tujuh. Satu mushaf dipegang khalifah sebagai arsip negara, dan sisanya dibagi ke Basrah, Kufah, Syam, Makkah, Yaman, dan Bahrain. Mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tetap berada di tangannya sampai Khalifah Utsman wafat.

Mengutip pendapat Ibn Daud bahwa ketika Marwan bin Hakam menjadi khalifah, beliau meminta Hafsah menyerahkan mushaf untuk dimusnahkan, tapi ditolaknya. Baru setelah Hafsoh wafat, Marwan dapat membakarnya. Tindakan itu dilakukan untuk menghindari keraguan terhadap Mushaf Utsman.

Usaha yang dilakukan Khalifah Utsman merupakan langkah terpuji untuk menghindari bencana yang akan menimpa kaum muslimin karena perbedaan membaca Al-Quran. Menurut Ahmad Azhar Basyir, upaya itu tidak bertentangan dengan izin nabi untuk membaca Al-Quran dengan bermacam-macam cara, sebab izin nabi itu diberikan untuk meringankan umat Islam angkatan pertama, sedang pada masa Khalifah Utsman maksud nabi telah berubah menjadi timbulnya perselisihan dan perpecahan dalam hal bacaan Al-Quran.

Tindakan khalifah itu dilakukan setelah bermusyawarah dengan para sahabat dan mendapat sambutan mereka kecuali Ibn Mas’ud yang pertama kali menolaknya, tetapi kemudian mendukungnya. Ali bin Abi Thalib mendukung usaha itu seperti tergambar dalam ucapannya ketika mendengar ocehan lawan politik Utsman setelah meninggal dunia: “kalian jangan mempercakapkan Utsman kecuali dalam hal baik, demi Allah dia tidak memerintah membakarnya kecuali atas kemufakatan kami. Kalau Aku yang memegang pemerintahan masa itu, tentu aku Akan berbuat terhadap mushaf seperti apa yang diperbuat Utsman”.



nanomag

Terimakasih atas kunjungan anda kritik dan saran anda sangat berarti buat kami


0 thoughts on “SEJARAH AL-QURAN 1: Al-Quran dari Wahyu ke Kompilasi