A. Sejarah Perdebatan Diskusi dan berdebat adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an menyatakan bahwa tradisi ini selalu ada pada setiap masa kenabian.
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ۚ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ ۖ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا
“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan kebenaran, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.”(QS. al-Kahfi [18]: 56).
Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari perdebatan adalah mencari kebenaran tertinggi, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah.
B. Berdebat dan berdialog adalah perintah agama
Al-Jadal bermakna At-Tahâwur yang artinya berdiskusi atau berdialog, seperti firman Allah:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)
Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal (berdebat) adalah penyampaian argumentasi atau yang diduga sebagai argumen oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau kelompoknya, membatalkan argumen lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan agama untuk menetapkan kebenaran dan menganulir kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah SWT.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl [16]: 125)
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 111)
Rasulullah SAW pun telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka hukum sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib.”
C. Adab dan metode berdebat
Diantara akhlak dan aturan debat yang dapat dijadikan pegangan aadalah:
1. Memelihara perdebatan tetap dalam suasana taqwa dan taqorrub kepada Allah
2. Tujuan dan motif berdebat hanya untuk menjadikan kebenaran sebagi panglima. Imam Syafi’i berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
3. Bukan maksud untuk mencari popularitas, berselish, atau mencari musuh
4. Diniatkan untuk memberikan nasihat karena agama adalah nasihat
5. Menggunakan metode yang baik dan elegan. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian.” (HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan). Dari Ibnu Mas’ud berkata: “Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.” (Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa sanad hadits ini shahih). Yang dimaksud dengan petunjuk disini adalah metodologi.
6. Harus disepakati apa yang menjadi rujukan oleh kedua pihak. Berdebat dengan orang kafir dasar yang digunakan adalah logika semata. Adapun berdebat dengan sesame muslim mneggunakan akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. al-Nisaa’ [4]: 59) Wallâhu A’lam bi al Showwab (Abu Yasmin)
SMA TRENSAINS SRAGEN
Terimakasih atas kunjungan anda kritik dan saran anda sangat berarti buat kami
0 thoughts on “Adab Debat dalam Islam”