لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟
“Sungguh kalian
akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob (yang sempit sekalipun) pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam
Nawawi menjelaskan hadits di atas “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziroo’ (hasta) serta
lubang dhob
(lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku
kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu
kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan. Prediksi
nabi ini adalah suatu mukjizat karena apa yang dikatakannya benar-benar terjadi
saat ini.
Dari
sedikit penjelasan hadis diatas menjadi relevan untuk mengaitkan dengan fenomena
faktual saat ini yaitu orang islam beramai-ramai mengucapkan selamat natal, bahkan
sebagian tokoh dan pejabat publik mengikuti natal bersama dengan alasan
toleransi umat beragama. Betulkah sekedar toleransi? tidakkah membahayakan keimanan
kita?
Kaum
Muslim
merayakan natal atau sekedar mengucapkan “selamat natal”
Natal
jelas bukan perayaan kaum Muslim, dan kaum Muslim seharusnya tidak berkepentingan dengan
itu. Namun secara sosial ada hubungannya mengingat kita hidup berdampingan
dengan kaum Kristiani.
Encyclopedia
Britannica (1946), menjelaskan, “Natal bukanlah upacara-upacara awal gereja.
Yesus Kristus atau para muridnya tidak pernah menyelenggarakannya, dan Bible
(Alkitab) juga tidak pernah menganjurkannya. Upacara ini diambil oleh gereja
dari kepercayaan penyembah berhala”.
Secara
ilmiyah, dibuktikan tanggal 25 Desember adalah pertama kalinya matahari
bergerak ke arah utara dan memberikan kehangatan setelah matahari berada di
titik terendah di selatan pada 22-24 Desember yang menyebabkan bumi berada di
titik terdingin. Karena itulah orang Yunani pada masa awal merayakan lahirnya
Dewa Mithra
pada 25 Desember, dan orang Latin merayakan hari yang sama
sebagai kelahiran kembali
Sol Invictus (dewa matahari juga namun
berbeda nama). Akan tetapi pihak gereja Katolik ngotot menganggap bahwa Yesus
Sang Mesias (Isa Al-Masih versi Islam) lahir pada 25 Desember. Makanya anggapan
itu adalah kesalahan yang sangat jelas bagi pemeluk Kristiani sedunia.
Masalahnya
adalah bahwa umat Kristen telah menjadikan tanggal 25 bukan hanya sebagai peringatan kelahiran Yesus, tapi perayaan kelahiran
‘Tuhan Yesus’. Catat baik-baik ‘Tuhan Yesus’. Sehingga permasalahannya berubah
menjadi permasalahan aqidah. Karena itulah dalam Islam, kita pun dilarang
ikut-ikutan merayakan Natal, karena itu adalah perayaan aqidah. Termasuk ikut
memberikan ‘selamat natal’ atau sekadar ucapan ‘selamat’ saja. Karena sama saja
kita mengakui bahwa Natal adalah hari lahir ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka. Ingat
betapa murkanya Allah kepada orang-orang yang menuduh bahwa Isa atau Yesus
adalah Tuhan.
Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang
tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih (QS. al-Maidah 5: 73)
Seringkali
kita beralasan, “Tapi kan nggak
enak, dia tetangga saya, masak saya nggak ngucapin selamat, kalo dalam hati
mengingkari kan gak apa-apa, yang penting niatnya. Kita harus bertoleransi…”
Perlu
ditekankan disini, niat apapun yang kita punya, apabila kita melakukan hal itu,
maka sama saja hukumnya. Dan toleransi bukanlah mengikuti perayaan aqidah umat
lain. Oleh karena itu harusnya kita lebih takut kepada Allah dibanding kepada
manusia. “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”
(QS. al-Maidah 5: 44)
Lalu
bagaimana toleransi Islam terhadap agama lain? Toleransi kita hanya membiarkan
mereka melakukan apa yang mereka yakini tanpa kita ganggu. Itulah toleransi
kita. “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”
(QS. al-Kafirun 109: 6)
Toleransi
bukannya ikut-ikutan dengan kebablasan dan justru terjebak dalam kekufuran.
Sebagai Muslim harusnya kita menyampaikan bahwa perayaan semacam ini adalah
salah. Sekali lagi kita mengingatkan bahwa haram hukumnya di dalam Islam
mengikuti perayaan Natal, juga termasuk mengucapkan ‘Selamat Natal’ ataupun
yang semisalnya. Mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada kita semua. Wallâhu
‘Alam.
0 thoughts on “Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal”