Ilmu atau
sains dalam tradisi Islam memiliki sifat
atau karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan sains modern (sains barat) yang
berkembang saat ini. Tulisan ini sedikit mengupas tujuh karakter ilmu dalam
islam. Diharapkan pihak-pihak yang terlibat dalam pedidikan, baik guru maupun
murid dapat menjadikan tujuh karakater ini sebagai basis pemahamann dalam
berinterksi dengan ilmu.
1. Pengertian ilmu menurut al-Quran
Secara etimologi, kata”ilmu” dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu al-ilm,
al-ma'rifah dan al-syu'ur (kesadaran). Al-'ilm adalah salah
satu sifat Allah yang tercermin dalam Asmaul Husna, yaitu Al-'Âlim, Al-'Alîm dan
Al-'Allâm
yang semuanya bermakna Maha Mengetahui.
2. Allah adalah sumber segala ilmu
Sumber ilmu pengetahuan adalah Allah, karena Allah-lah yang mengajarkan manusia segala sesuatu sehingga mengetahui
"Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya"(Al-'Alaq: 5). Para malaikatpun tidak mengetahui sebelum mereka
diajarkan Allah.
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"
(Al-Baqarah: 32).
Atas dasar inilah Imam Syafi'i menyatakan "Ilmu adalah apa yang di dalamnya
terdapat hadatsana". Yang dimaksud disini adalah ilmu merupakan serangkaian pengetahuan yang sistematis yang
didasarkan pada nash-nash shahih.
3. Watak ilmu menurut Islam
Dalam al-Qur'an, sifat penting epistemologi Islam terletak pada adanya kebenaran (al-haq) dan
kepastian (al-yaqin) sebagai antitesis dari kesalahan (al-batil),
keraguan (syak) dan dugaan (dzan). Hal ini berarti ilmu
pengetahuan dalam Al-Qur'an adalah kebenaran mutlak yang tidak ada keraguan
padanya. Hal ini seperti disebutkan dalam al-Quran:
"Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali perasangka
saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak sedikitpun
berguna untuk mencapai kebenaran... " (Yunus:
36)
Ini berarti, dalam Islam sebuah kepastian
ada tiga tingkat: Kepastian kognitif (ilm al-yaqin), kepastian
penglihatan (ain al-yaqin) dan kepastian yang mutlak dialami (haq
al-yaqin). (At-Takatsur)
4. Ilmu dalam Islam bersifat holistik dan universal
Pengetahuan yang benar secara absolut harus
sesuai dengan wahyu. Sebaliknya semua yang bertentangan dengan wahyu adalah salah (batil) atau hanya persangkaan (dzan)
atau didasarkan pada hawa nafsu (hawa') kesombongan (istikbar)
atau kebodohan (jahl). Kebenaran hakiki diperoleh dari optimalisasi potensi manusia yang bersumber wahyu."Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya" (Al-Isr’a: 36).
Dalam konteks pengetahuan Tuhan, dzan adalah lawan kata 'ilm, haqq dan yaqin. Walaupun demikian, dalam konteks manusia, dzann tidak selamanya
bersifat negatif menurut epistemologi Islam,
manusia juga bisa memperoleh sebuah data yang bersifat dzan. Kepositifan
dzan dapat terlihat pada proses ijtihad yaitu proses pengerahan daya
intelektual yang dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas.
5. Mengaitkan ilmu dengan persoalan spiritual (aqidah)
Sifat ilmu dalam Islam adalah
holistik dan universal yang mana cara pandangnya adalah tauhid atau ketuhanan. Ini berarti persoalan-persoalan epistemologis harus selalu dikaitkan dengan aspek ketawhidan.
6. Mengaitkan ilmu dengan aktifitas (amal)
Seharusnya pengetahuan
harus diikuti oleh perbuatan karena makna 'âlim sendiri berkaitan erat dengan orang yang bertindak sesuai dengan
pengetahuannya. Hal ini merupakan aspek
mencolok yang
membedakan konsep pengetahuan Islam dengan konsep sains modern. Konsep ilmu dalam islam tidak hanya menguraikan persoalan-persoalan
kognitif dan intelektual, tetapi ia menyatukan aspek-aspek spiritual dan praktis manusia.
Ilmu dalam Al-Quran sering diibaratkan dengan kata nur (cahaya) dan huda (petunjuk) (24 :
35). Disini dikatakan bahwa Allah sebagai cahaya langit dan bumi memberikan petunjuk
kepada jiwa dan perasaan orang yang dikehendaki.
7. Mengaitkan ilmu dan etika
Kata 'âlim ( عالم ) bukan
hanya isim fail yang menunjukan tindakan sementara atau eksidental seorang pelaku. Akan tetapi menunjukan kata sifat yang
mengekspresikan tindakan yang kontinyu. Itu artinya
kata ‘âlim sejatinya menunjuk seseorang yang bertindak apakah terus menerus
atau sesaat sesuai dengan ilmunya. Oleh sebab itu, hubungan antara iman dan amal seperti uang logam, tidak dapat dipisahkan. Ada hubungan kausal disini: pengetahuan harus menghasilkan keyakinan, sedang keyakinan harus menghasilkan amal soleh. Wallâhu ‘Alâm bi al Shawwâb! (Abu Yasmin)
0 thoughts on “Karakteristik Ilmu dalam Islam ”